Friday, April 24, 2009

TUHAN tidak Adil

Saya sering mendengar ucapan seperti di atas. Bahkan dulu, saya pun sering mengucapkan hal itu dalam hati (enggak
berani keras-keras takut kedengaran Tuhan 8-D ). Mungkin anda pun pernah mengucapkan hal itu.

Renungan ini tidak akan membahas dengan tuntas tentang keadilan Tuhan. Saya hanya akan sekedar memberikan ilustrasi yang dapat membantu menjernihkan. Kita sering menuntut Tuhan dengan perkataan,"Engkau tidak adil!", karena pemahaman yang salah tentang keadilan dan belas kasihan Tuhan.

R.C. Sproul, teolog yang mengajar di Reformed Theological Seminary mengisahkan kejadian ini di bukunya "The Holiness of GOD" (Kekudusan Allah):

Saya mengajar mata kuliah Perjanjian Lama untuk 250 mahasiswa baru di sebuah universitas Kristen. Pada hari pertama kuliah, saya membahas tugas-tugas yang harus diselesaikan di mata kuliah ini dengan seksama.

Pengalaman telah mengajar saya bahwa tugas karya tulis membutuhkan penjelasan khusus. Ada 3 karya tulis singkat yang harus dikerjakan untuk mata kuliah ini. Saya menjelaskan kepada para mahasiswa bahwa karya tulis yang pertama sudah harus saya terima paling lambat jam 12 siang, tanggal 30 September. Saya tidak akan memberikan pengecualian apapun, kecuali mereka terbaring di rumah sakit atau bila anggota
keluarga dekat mereka meninggal dunia. Bila karya tulis tersebut tidak saya terima pada waktunya, saya akan memberikan nilai F (F=fail; gagal atau nol) untuk karya tulis itu. Para mahasiswa menyatakan mereka telah mengerti peraturan itu.

Tanggal 30 September, 225 mahasiswa menyerahkan karya tulisnya tepat pada waktunya. 25 mahasiswa dengan panik,
gelisah, ketakutan dan wajah penuh penyesalan memohon pada saya,"Profesor Sproul, kami menyesal. Kami tidak mengatur waktu kami dengan baik. Kami belum menyesuaikan diri dengan transisi dari SMA ke universitas. Tolong jangan berikan nilai F pada kami. Tolong berikan kesempatan pada kami."

Saya bermurah hati dan mengabulkan permohonan mereka.

"Baik, saya beri kalian kesempatan kali ini, tapi ingat, karya tulis berikut harus kalian serahkan tanggal 31 Oktober." Para mahasiswa itu begitu gembira dan memenuhi telinga saya dengan janji-janji dan sumpah bahwa mereka tidak akan terlambat untuk menyelesaikannya.

Tibalah tanggal 30 Oktober. 200 mahasiswa menyerahkan karya tulis mereka. 50 mahasiswa datang dengan tangan hampa. Mereka gelisah, tapi tidak panik. Ketika saya meminta karya tulis mereka, mereka menjawab dengan nada
menyesal,"Homecoming Week, Prof dan kami juga banyak ujian midterm, tambahan lagi tugas-tugas untuk mata kuliah lain. Berilah kami kesempatan sekali lagi. Kami janji ini yang terakhir."

Sekali lagi saya bermurah hati. Saya berkata,"Baik. Tetapi ini yang terakhir. Karya tulis yang terakhir harus saya
terima tanggal 30 November. Bila kalian terlambat menyerahkannya, saya akan memberikan nilai F untuk anda. Tidak ada alasan dan segala macam permohonan lagi. Kalian paham?" "Hore, anda baik sekali" Secara spontan mereka mengelu-elukan saya,"Kami mencintai anda Profesor Sproul, kami sungguh mencintai anda"

Saya menjadi guru kesayangan.

Dapatkah anda menebak apa yang terjadi pada tanggal 30 November? Tepat sekali. 150 mahasiswa menyerahkan karya tulis mereka. 100 mahasiswa lainnya duduk dengan tenang tanpa rasa bersalah. "Mana karya tulis kalian?", saya bertanya. "Tenang Prof, kami sedang mengerjakannya. Beberapa hari lagi kami akan serahkan pada anda."

Saya mengeluarkan buku nilai saya dan membukanya.

"Johnson. Di mana karya tulis anda?"
"Belum selesai Prof.", terdengar jawaban.
"F!" Saya berseru sambil menuliskan huruf F di sebelah namanya.
"Muldaney." Di mana karya tulis anda?"
"Belum selesai Prof.", kembali terdengar jawaban.
Saya kembali menuliskan huruf F di buku nilai saya.

Mahasiswa-mahasiswa itu bereaksi dengan penuh amarah. Mereka protes dan berteriak-teriak dengan gaduh.
"Tidak adil!"
Saya menatap seorang dari mereka yang sedang berteriak.
"Lavery! Menurut anda ini tidak adil?"
"Tidak adil!" geramnya.
"Oh begitu? Jadi anda ingin keadilan? Seingat saya, anda juga terlambat menyerahkan karya tulis anda yang lalu.
Kalau anda memaksa ingin meminta keadilan, dengan senang hati saya akan mengabulkannya. Saya akan memberi nilai F untuk karya tulis anda kali ini dan saya juga akan merubah nilai karya tulis anda yang dulu menjadi F juga yang
sepantasnya anda dapatkan."

Dia terkejut. Dia tidak bisa berbicara macam-macam lagi. Dia meminta maaf dan sepertinya gembira hanya mendapat satu nilai F dan bukannya dua.

Mahasiswa saya telah meremehkan belas kasihan dan kemurah hatian saya. Mereka merasa berhak. Mereka tidak siap, ketika keadilan datang. Mereka kaget dan mereka marah. Dan ini terjadi hanya untuk belas kasihan yang saya berikan
kepada mereka dalam dua bulan. Belas kasihan Allah kepada kita jauh lebih panjang.

Ketika saya membaca cerita diatas, saya sadar. Begitu sering saya meremehkan belas kasihan Tuhan atas diri saya.
Saya merasa berhak atas belas kasihan Tuhan. Bila Tuhan tidak berbelas kasihan pada saya berarti Tuhan berhutang pada saya dan Tuhan tidak adil. Saya teringat pada seorang pengemis yang dengan kesal mengetuk kaca jendela mobil saya
dan akhirnya meludahi kaca itu karena saya tidak memberikan seratus rupiah padanya. Pengemis itu merasa berhak untuk diberi uang dan dikasihani. Dia merasa saya berhutang padanya. Padahal saya mempunyai hak mutlak untuk memberikan belas kasihan saya sesuai dengan kehendak saya.

Allah mempunyai hak mutlak untuk berbelas kasihan pada siapapun sesuai dengan kehendakNya. Selama ini Allah telah berbelas kasihan kepada saya. Bila Allah memberikan keadilan, seharusnya saya sudah mati. Karena ada tertulis:
Upah dosa adalah maut. Semoga kita tidak meremehkan belas kasihan dan kemurahan hati Allah.

No comments: